Hidup di Jerman bisa jadi memang tak seindah dan sebetah di tanah air, betapapun sulit dan semrawutnya tanah air tercintaku. Namun, ternyata hidup di Jerman lebih 'manusiawi' dan lebih 'nyaman' daripada hidup di Rusia.
Adalah kedatangan seorang sahabat saat silaturahmi ke kediamanku di Aachen, Jerman yang menyebabkan aku harus selalu menggenapkan rasa syukur atas kehidupanku saat ini di Aachen, Jerman. Betapa tidak, menjadi orang asing di Rusia bukanlah pilihan yang menyenangkan. Orang Rusia sangat dingin terhadap orang asing, sedingin suhu yang menggigit kala winter mengepung Rusia. Jarang orang Rusia yang mau tersenyum dengan orang asing. Bahkan kasir sebuah supermarket pun mahal senyum. Sehingga, ketika ada orang Rusia yang dengan suka hati tersenyum, itu menimbulkan keheranan tersendiri. Suatu ketika, seorang WNI dibuat kesal oleh ulah seorang penjaga toko Rusia yang melempar barang yang akan dibelinya. Emosinya meledak sehingga ia pun melemparkan uang pembayaran barang itu tanpa memikirkan kembaliannya.
Kejadian lain, saat seorang WNI berada di kereta bawah tanah, tiba-tiba saja, seorang bapak Rusia, menghardiknya, "Hei, ngapain kamu di sini?" Dadanya berguncang, rasa khawatir memenuhi dadanya. Ia terdiam, tak mengucap sepatah kata pun. Ucapan bapak tadi memprovokasi orang-orang Rusia yang ada di gerbong kereta bawah tanah itu. Akhirnya, ia pun mengeluarkan kartu diplomatiknya yang menunjukkan bahwa kehadirannya di Rusia adalah untuk bekerja di kedutaaan besar Indonesia. Ya, ia adalah guru di sekolah Indonesia di Moskow. Alhamdulillah, pertolongan Allah datang, begitu kartu selesai ditunjukkan, kereta berhenti pas di stasiun tujuan. Lega. Ia turun dengan gaya penuh kepercayaan diri, walau hatinya sedikit kecut. Bergaya gagah saat kepanikan muncul, menurutnya sangat diperlukan. Karena polisi Rusia sangat pintar membaca body language. Kalau melihat orang asing panik, mereka akan menginterogasi.
Ketidakramahan orang Rusia, tidak hanya sampai di situ. Kalau keluar melewati pintu sebuah toko, setelah melihat-lihat atau membeli sesuatu, dan tiba-tiba alarm berbunyi, bisa-bisa diinterogasi berjam-jam. Walaupun jelas-jelas tidak ada satu pun barang yang lancang diambil. Pengalaman seperti itu menyebabkan, setiap kali habis belanja atau sekedar menengok sebuah toko, sahabatku selalu membaca basmalah memohon kemudahan dan dijauhkan dari musibah.
Dari pengalaman itu, bisa jadi orang Jerman lebih ramah terhadap orang asing. Senyuman dan sapaan guten morgen (selamat pagi) atau guten tag (selamat siang) atau schoenes wochenende (semoga akhir pekan anda menyenangkan) adalah sapaan yang akrab di telinga kala mampir di kasir toko-toko di Jerman. Tetapi, bukan berarti hidup di Jerman tanpa problem. Sikap sinis beberapa orang Jerman terhadap orang asing dan umat Islam kadang kala juga mewarnai irama kehidupan.
Satu contoh, dadaku pernah dibuat mendidih oleh segerombolan anak sekolah yang duduk mengelilingi tempat dudukku di bis yang membawaku pulang ke rumah di pinggir kota. Jilbabku ditarik-tarik, bajuku sengaja disembur oleh air minum yang dibawanya. Kejadian lain juga dialami oleh temanku yang juga berjilbab, di saat hawa panas cukup menggigit, tiba-tiba seorang nenek memukulnya dengan payung ketika temanku sedang santai berjalan di suatu tempat. Kaget, jelas saja, tak angin dan tak ada hujan, tiba-tiba dapat serangan mendadak seperti itu. Entahlah, mengapa mereka melakukan itu, bisa jadi kebencian pada Islam membuat mereka melakukan itu. Yang lucunya lagi, seorang teman lain, pernah ditegur keras oleh seorang nenek yang tinggal satu apartemen dengannya yang terganggu dengan aktivitas temanku, "Pagi-pagi kamu sering bernyanyi ya!" hardik nenek itu. Temanku sedikit bingung, tak lama ia pun sadar. Mungkin yang dimaksud nenek itu suara tilawah al-Qur'an ba'da subuh yang kerap dilakukan oleh suaminya. Yang parah, seorang rekan muslim pengurus sebuah lembaga Islam yang mengumpulkan zakat, infaq, dan shadaqoh (ZIS), pernah diciduk oleh polisi dan diinterogasi berjam-jam. Masalahnya cuma satu, di rekeningnya masuk uang ratusan Euro. Polisi mencurigai, dana yang masuk untuk membiayai terorisme.
Hidup sebagai orang asing memang memiliki tantangan tersendiri. Mungkin, di situlah ujian yang diberikan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Pun, tantangan dan problematikanya begitu luas dan sulit untuk ditembus. Setiap tempat punya tantangan tersendiri, bagaimana kita bersikap terhadap tantangan itulah kunci kita bisa hidup ajeg. Iman seseorang butuh ujian, karena memang itulah hakekat keimanan, akan selalu diuji untuk mengetahui sejauh mana kualitasnya. Surga itu mahal dan tidak diperoleh dengan mudah. Beratnya hidup, sulitnya menaklukkan tantangan adalah bayaran kita untuk mendapatkan surga, jika kita tetap berada dalam ketaatan.
"Apakah kamu mengira akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (ujian) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kami. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, diguncang (dengan berbagai cobaan). Sehingga Rosul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, "Kapankah datang pertolongan Allah?" Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (Qs. al-Baqarah: 214)
Ya, surga itu milik orang-orang yang tegar hingga akhir. Orang-orang yang tabah menghadapi guncangan. Orang-orang yang tidak menundukkan kepala kala badai menerpa. Orang-orang yang selalu dalam kesabaran, meskipun ujian berat telah memuncak. Orang-orang yang memiliki jargon hidup ashshobru quwwatuna (sabar adalah kekuatan kita) dan atstsabat mauqifuna (teguh adalah sikap kita). Orang-orang yang tetap istiqomah pada pendirian bahwa tidak ada pertolongan kecuali pertolongan Allah dan dengan kehendak Allah.
Memang tak ada yang mengingkari bahwa bersikap tegar, sabar dan istiqomah di kala beban berat telah menghimpit tidaklah mudah. Rasulullah pun ketika turun ayat yang menganjurkan untuk bersikap istiqomah, rambut beliau sampai beruban memikirkannya. Namun, mungkin dengan kita sering bercermin pada pengalaman hidup orang lain, termasuk pada generasi terdahulu, akan membuat kita tidak lemah dan loyo untuk bertempur dan bertarung menghadapi medan kehidupan yang begitu sulit. Sejarah mencatat bagaimana generasi terdahulu sangat berat ujiannya. Mereka bukan sekedar tidak mendapat senyuman, dihardik, atau diperlakukan tidak manusiawi, tetapi mereka mendapatkan siksaan yang luar biasa dan mengorbankan jiwa demi sebuah aqidah yang mereka pegang.
Tengoklah pada sebuah generasi, di mana ada orang saleh yang digergaji dalam keadaan hidup dari arah kepalanya hingga tubuhnya terbelah dua oleh orang kafir. Atau pada generasi lain juga ada penguasa kafir yang membuat parit, lalu menyalakan api di sana dan mempersiapkan bahan bakar agar parit itu tetap menyala, kemudian ia menggiring orang-orang saleh ke mulut parit itu. Bumi telah pun menjadi saksi, ketika syahidah pertama dalam dunia Islam, yaitu ibunda Sumayyah mengalami penderita yang teramat sangat ketika kelaminnya ditusuk oleh panah hingga tembus ke kepala. Dan masih lekat dalam ingatan kita bagaimana muslimah-muslimah di Bosnia Herzegovina harus menanggung penderitaan ketika kehormatannya direnggut oleh orang-orang Serbia dengan paksa. Dan tak sedikit dari mereka harus bersabar dan tabah menjalani kehamilan dari benih si pemerkosa.
Astaghfirullohal'azhim, ternyata ujian kita belum apa-apa dibandingkan mereka. Tetapi kita tidak memungkiri, lisan ini sering berkeluh kesah, dada ini sering sesak, mata ini pun tak jarang sembab oleh tangis. Ampunilah dosa kami ya Allah... kuatkan kesabaran kami, teguhkan pendirian kami, terangi hati kami, lapangkan jiwa kami, penuhi ruh kami dengan kalimat-kalimat-Mu, rapikan barisan kami, dekatkan kami dengan Rasul-Mu, pahamkan kami dengan ajaran-Mu, akrabkan kami dengan pewaris Rasul-Mu, datangkanlah pertolongan-Mu pada kami, sebagaimana janji-Mu bahwa sesungguhnya pertolongan-Mu amat dekat...
Wallohu a'lam bishawab
Sumber : Bunga Rampai 12 (Aachen, 15 Juni 2005)
Renungan untuk diri yang lemah dan teruntuk sahabatku di Moskow. Teruskan perjuanganmu, ukhti!
Nurul H. Astuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar